Saat aku masih kuliah, orang-orang yang bekerja di agensi terlihat sangat keren. Pemikirannya kreatif, cara berpakaiannya santai & trendy, hasil kerjanya diliat orang banyak. Bagiku, ini adalah pekerjaan yang sangat “seksi”.
Kalau dibandingin sama potensi pekerjaan lain yang didambakan teman-teman kampusku: jurnalis, corporate PR, dosen, aktivis politik, perfilman; kayaknya kerja di agensi ni paling keren. Namun ternyata, ada hal-hal di balik layar yang aku nggak liat dan ternyata cukup berat untuk dijalani—ya, setidaknya menurutku.
Mau tidak mau, aku harus membiasakan diri dengan penolakan
Dalam agensi periklanan, nggak ada proses mulus yang sekali digarap, kelar. Dalam setiap fase pengerjaan pasti ada aja yang perlu direvisi.
“Nggak ada yang cocok, Bis. Cari lagi, ya.”
“Ini ide biasa banget! Has been done to death.”
“Diksinya nggak umum, cuma dikit yang paham.”
Kadang emang bikin frustasi, sih. Bikin merasa kalau aku bodo banget, kerja nggak pernah bener, bikin ini itu salah mulu, dan seterusnya. Tapi semakin lama, semakin aku sadar bahwa mindset kerja di bidang advertising ni memang berbeda.
Dari dulu sampai kuliah, aku selalu punya mindset untuk membuat sesuatu sebaik mungkin, yang nggak neko-neko, yang “benar”. Ternyata, di sini malah kebalikannya. Pemikiran seperti tadi malah membuat ide dan headline yang aku tulis menjadi teralu biasa dan pasaran.
Maka, aku perlu punya mindset untuk bikin sesuatu yang aneh, yang imposible, yang “salah”, yang kontroversial. Pokoknya bikin ide yang seliar mungkin, masalah kebablasan atau engga, biar bos saya yang menyortir wkwkwkwkwkw.
Perihal penolakan dan revisian tadi berimbas ke masalah berikutnya
Yup, jam kerjaku yang penuh ketidakpastian. Feedback yang datang mepet sementara deadline nggak bisa mundur, mengakibatkan kami mau ga mau harus menyelesaikan pekerjaan pada saat itu juga. Pulang kantor jam set 7 malem itu udah termasuk cepet, cuy. Udah pencapaian luar biasa dan patut disyukuri.
Selebihnya? Ya jam 8, jam 9, kadang sampai jam 2 pagi baru balik juga pernah. Saking padetnya kerjaan, sering juga aku harus masuk weekend buat ngejar deadline. Apakah aku mengeluh? Yaaa ngomel-ngomel pasti ada, lah. Namanya juga manusya ya, kan? Cuman ya tetep harus masuk dan dikerjain, dong.
Namun, tetap ada hal yang aku syukuri dari kerja di agensi
Seringnya lembur di weekend membuatku jadi punya banyak cuti. Betul, kebijakan kantorku, kalau kami masuk di hari libur, maka akan dapet hari libur pengganti. Itu lah yang bikin aku bisa sering pulang ke Jogja. Ya, dong? Punya cuti banyak ya mari kita kumpulkan untuk pulang~
Kayak Rabu besok aja aku bakal balik lagi ke Jogja. Mayan, sejenak rehat dari hiruk pikuk ibu kota (eh, masih ibu kota nggak, ya?). Makanya, aku mencoba untuk selalu semangat kerja dan nggak ngeluh buat kerja di weekend. Karena sebagai gantinya, aku bisa punya waktu lebih banyak buat pulang. Prinsipku sekarang bersusah-susah di Jakarta, berfoya-foya di Jogja!
Sekian tulisan Senin ini. Terima kasih sudah membaca sampai selesai.
Keep in touch, ya!
gpBisma