Hampir tiga tahun lalu, pada Agustus 2022, aku sempat mengikuti pelatihan menulis bersama Mas Ditra (Febrian Adi Putra). Ia seorang penulis sekaligus Creative Director di sebuah agensi iklan. Pelatihan ini berlangsung sepekan sekali selama 4 sesi, kalau tidak salah ingat. Pada pertemuan terakhir, kami diminta untuk menulis sebuah cerpen… dan ini adalah cerpenku yang kutulis pada waktu itu.
Selamat membaca! Kritik, saran, dan komentar tentu sangat aku terima.
Tuah Tusuk Konde
oleh: GP Bisma
“Makam Nyi Banyak dibongkar!”
Pekikan Thole membuatku terperanjat tidak karuan dari tidur. Aku terduduk di tepi pos ronda dan tanpa pikir panjang, kubangunkan Slamet yang tertidur di antara kartu remi dan kulit kacang yang berserakan. Langit masih gelap, bumi masih sepi. Hanya terdengar napas terengah-engah Thole di sela kerik jangkrik.
“Yang benar saja, Le! Aku sikat kamu kalau bohong!”
“Sumpah! Demi Tuhan! Demi Allah! Demi Dewa! Saat sedang keliling, aku melihat ada sesosok bayangan sedang mengeruk makam Nyi Banyak! Saat kukejar, bayangan itu melesat dengan cepat dan menghilang di hutan selatan!”
“Jancuk! Lalu bagaimana dengan makamnya?”
“Belum sempat kulihat.”
“Bodoh! Bagaimana kalau tusuk kondenya dicuri?”
Aku melesat menyusuri jalan tanah berbatu di tengah hutan, menuju makam Nyi Banyak. Suara langkah Thole dan Slamet terdengar membuntutiku memasuki gelapnya malam, atau subuh, bisa dibilang. Kutahu adzan subuh belum berkumandang saat pikiranku melayang menuju tusuk konde.
*
Ya, setusuk konde. Konde legendaris itu. Tepat seribu hari lalu, tusuk konde legendaris itu ikut dikuburkan bersama pemiliknya yang tak kalah legendaris, Nyi Banyak. Ia sosok yang teramat sangat dihormati di desaku. Bukan, bukan hanya oleh desaku, juga oleh desa tetangga, dan tetangganya, dan tetangganya lagi. Mungkin tetangganya tetangga desa tetangga juga mendengar soal kesaktian Nyi Banyak. Entah, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, sebegitu populernya Nyi Banyak hingga rumahnya selalu ramai oleh orang-orang yang minta petuah dan mencari wangsit.
Rumah kayu yang sederhana itu selalu penuh sesak sejak gelap hingga gelap lagi. Begitu terus setiap harinya selama sekian puluh tahun. Nyi Banyak terkenal bisa membaca masa depan. Mereka sampai rela mengular sepanjang belasan kilometer hanya untuk menunggu giliran bertemu Nyi Banyak. Orang-orang bertamu ke rumahnya memohon petunjuk soal apa-apa saja yang terpikirkan di kepala mereka. Banyak muda-mudi bertanya perihal jodoh yang tak kunjung datang, petani mohon petunjuk tentang hasil panen, seorang ibu hamil tua meminta saran untuk nama anaknya, hingga politikus yang memohon kelancaran dalam pemilu.
Yang membuatku juga tidak paham, permohonan mereka menjadi kenyataan! Bejo, pemuda yang memohon petunjuk jodoh, selang dua minggu setelah bertamu ke rumah Nyi Banyak, langsung menyebar undangan perkawinannya dengan Ratri. Para petani panen raya setelah dua bulan. Politikus gundul itu juga berhasil lolos dengan perolehan suara terbanyak di dapilnya. Jancuk! Nyi Banyak selalu membuatku berucap jancuk setiap kali mendengar kabar kehebatannya.
Mereka yang datang umumnya memberi sesuatu sebagai balas budi kesaktian Nyi Banyak. Sepengetahuanku ia tidak pernah mematok tarif, namun ada-ada saja pemberian yang ia terima. Suatu hari ia mendapat lima belas ikat kayu bakar, besoknya ada yang membawa dua ekor kambing, dan ada pula yang memberi gelang dan cincin. Ya, sebegitu berterimakasihnya mereka sampai rela memberi macam-macam hal kepada Nyi Banyak.
Padahal, aku tahu persis Nyi Banyak hanya memberi petuah-petuah basi yang mungkin orang-orang tersebut juga sudah bosan mendengarnya. Nyi Banyak juga menyuruh mereka melakukan hal remeh temeh yang entah mengapa bisa berimbas kepada nasib dan peruntungan mereka. Ada yang diminta menanam pohon mangga, memelihara burung perkutut, memakai pakaian bernuansa merah, memotong rambut, dan hal remeh temeh lainnya. Ada pula larangan dan pantangan seperti tidak boleh berkumis, pantang makan nasi, tidak boleh mandi di atas jam 7 malam, hingga pantangan mengenakan kutang.
Tak ada yang berani menanyakan alasan mereka harus melakukan itu. Mereka hanya mengangguk-angguk seperti anak kecil yang penurut. Pernah sekali waktu ada orang protes karena diminta makan belalang setiap pasaran Pahing. Nyi Banyak hanya menjawab “Terserah. Mau dapet jodoh atau tidak?” Orang ini marah-marah dan enggan mengikuti anjuran Nyi Banyak. Jancuk! Sudah 9 Lebaran ia tidak kunjung membawa gandengan saat mudik.
Aku juga tahu persis bahwa di rumahnya, orang-orang ini hanya diberi segelas air putih. Tidak ada ramuan rahasia turun temurun. Pun airnya juga ia ambil dari sungai biasa di belakang rumahnya. Tidak ada yang spesial. Dari masih lajang sampai sudah berbini, setiap hari aku juga mengambil dari sumber air yang sama. Badanku tak lantas menjadi bak Gatotkaca, otak bak Sengkuni, pun wajah bak Arjuna. Nasibku juga begini-begini saja.
Satu hal yang mengganjal pikiranku adalah tampilan rambut Nyi Banyak yang selalu berkonde. Gulungannya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Standar-standar saja. Caranya menggulung juga tidak terlalu rapi, juga tidak berantakan. Ada sisa-sisa rambut halus yang menjuntai di lehernya yang keriput. Hanya saja, ia selalu mengenakan tusuk konde yang sama, setiap harinya selama sekian puluh tahun. Tusuk konde berwarna perak, berujung lancip, dan berukuran satu jengkal orang dewasa. Bentuk pangkalnya menyerupai angsa kembar. Bukan tusuk konde yang paling indah dan mahal, memang. Tetapi entah mengapa hiasan rambut tersebut seperti memancarkan kharisma tersendiri.
Setiap orang yang bertamu ke rumah Nyi Banyak pasti menyadari aura aneh dari tusuk konde tersebut. Ada yang bilang tusuk kondenya memancarkan cahaya seterang matahari hingga ia tak kuasa melihatnya. Ada juga yang bilang tusuk kondenya seperti buah dada yang menggantung tanpa kutang, membuat dirinya ingin selalu menatapnya. Ada lagi yang menyebut tusuk konde itu ada isinya hingga membuatnya merinding setengah mati. Tidak hanya sampai di sana, mereka yang mati penasaran dengan aura mistis tusuk konde tersebut bahkan sampai menguntitnya mandi di sungai hingga mengintip dari sela tembok bambu rumahnya; mencoba memergoki dirinya yang tak berkonde. Semuanya sia-sia. Sebuah desas-desus berkata bahwa ia juga berkonde saat tidur! Apapun gunjingannya, tusuk konde Nyi Banyak selalu menjadi misteri yang mengundang perbincangan sedari pertama ia mengenakannya.
Ya, seperti semua orang di desa ini, Nyi Banyak memang lahir dan besar di sini. Saat aku kecil, ia hanya perempuan biasa-biasa saja, pendidikannya biasa-biasa saja, dan pekerjaannya juga tak kalah biasa-biasa saja. Orang-orang setempat memanggilnya Lastri. Ia tidak terlalu ramah, juga tidak terlalu tertutup. Sekali dua kali kami berbincang dan bertegur sapa. Saling bertamu juga pernah. Ia tidak memiliki saudara, juga tidak menikah. Suatu waktu di suatu tahun, bulan, minggu, dan hari yang tidak aku ingat kapan tepatnya, Lastri mengurung diri. Empat puluh hari rumahnya tertutup rapat. Banyak orang coba mengetuk, tetapi tidak ada jawaban. Hanya terdengar sayup-sayup tembang Jawa dari dalam rumahnya setiap pukul empat dini hari.
Tepat pada hari ke empat puluh satu, pintu rumahnya terbuka. Keluarlah sosok Lastri, yang sudah berkonde dan memancarkan aura aneh nan kharismatik itu. Awalnya orang bertamu sekadar menanyakan kabar, termasuk aku. Tidak ada yang berubah darinya, kecuali rambutnya. Lalu entah bagaimana mulanya, di suatu malam seisi desa dihebohkan oleh seorang penderes nira yang mengaku mendapat banyak hasil sadapan setelah bertamu dan melakukan saran Lastri. Jancuk! Ratusan pongkor dalam seminggu tentu lebih mirip suatu kemustahilan. Banyak yang tidak percaya, pun demikian denganku. Namun setiap harinya selalu saja ada kabar menghebohkan dari orang yang coba-coba meminta nasihat kepada Lastri. Begitu seterusnya sampai namanya juga ikut berubah. Orang-orang lantas memanggilnya Nyi Banyak karena kesaktian dan bentuk tusuk kondenya.
Suatu waktu, aku pun penasaran dan bertamu ke rumah Nyi Banyak. Siapa tahu, aku juga bisa mencicipi keajaiban seperti orang-orang lain itu. Saat itu antrean belum terlalu panjang. Yaaa barangkali hanya lima jam aku menunggu. Saat memasuki rumahnya, pancaran aura tusuk kondenya langsung menarik pandangan bola mataku seperti sebuah magnet. Ada sekian detik aku memandangi konde Nyi Banyak sebelum ia membuka percakapan.
“Bagaimana, Gus? Kenapa ke sini?”
“Tahu sendiri lah, Nyi. Saya kan sudah lima tahun menikah, dan...”
“Pengen punya anak?”
“Iya, Nyi. Tapi maaf, saya cuma bawa dua lirang pisang.”
Nyi Banyak lantas menyuruhku dan istriku untuk menyembelih ayam satu ekor setiap malam bulan purnama. Entah apa maksudnya, aku juga tidak tahu. Selanjutnya ia hanya memberiku nasihat basa-basi tentang kehamilan dan cara mengasuh anak. Belum sempat kuutarakan maksud untuk pamit, ia mengeluarkan kata-kata yang membuatku melek semelek-meleknya.
“Satu lagi, Gus. Kalau anakmu nanti laki-laki, kamu harus mengabdi padaku sampai kamu mati! Kalau perempuan, maka istrimu yang harus mengabdi padaku sampai ia mati!”
*
“Syukurlah, makamnya masih utuh! Maksudku, setengah utuh! Em, mungkin seperdelapan utuh!”
“Jancuk, Le! Kalau saja kau tahu makamnya berantakan sedari awal, aku bisa bawa peranti untuk berbenah!”
“Sudah-sudah. Setidaknya, tusuk kondenya masih ada. Mendingan, kita benahi dulu sebisanya.”
Tusuk konde! Ya, Slamet benar. Setidaknya, tusuk konde legendaris itu masih ada. Jancuk! Hampir saja nasib anak-anakku kugadaikan dengan tidur yang tak seberapa itu.
“Ya, mari benahi dulu makam ini sebisanya. Sisanya siang saja, biar istriku yang membereskan.”
***
Nice story! Penasaran apa yang ada di dalam tusuk konde itu