Hari Minggu lalu tanggal 8 Desember, aku pergi ke Bogor untuk mengikuti Walking Tour Kebangsaan yang diadakan oleh Bogor Historical Walk dan Museum Kepresidenan Balai Kirti. Pengalaman baru yang random, berkesan, dan menyenangkan.
Kejadian bermula dari pesan WA seorang kawan lama
Mas Ivan namanya. Dia adalah temanku berjualan kaos di Dagadu. Kini, Mas Ivan bekerja sebagai staff museum di Balai Kirti, Bogor. Kami sempat bertemu sekali di tahun 2022, ketika aku awal bekerja di Jakarta. Tanpa sadar, 2 tahun lebih telah berlalu sejak pertemuan itu.
Balik ke pesan WA. Di situ Mas Ivan mengajakku untuk mengikuti walking tour yang bertema “Dari Gubernur Jenderal ke Presiden”. Wah, acara seru, nih! Ketemu kanca lawas sembari berkeliling di Museum Balai Kirti. Singkat cerita, tawaran tersebut aku iyakan. Meski jaraknya jauh mampus dan acaranya dimulai pagi pukul 8, yaaaa biar lah Bisma-di-hari-Minggu yang memusingkan itu.
Ternyata, keputusan tersebut benar-benar membikin aku pusing
Alarm yang kuset pada pukul 4 pagi berbunyi. Aku terbangun dengan sedikit misuh-misuh karena cuaca yang sangat tidak bersahabat. Pagi itu hujan badai dengan angin yang sangat kencang. Badan rasanya sangat malas untuk bangun. Setelah berjuang sangat hebat melawan diri sendiri, aku bisa mandi, bersiap, dan berjalan ke luar kosan dengan jas hujan dan sandal jepit.
Masalah belum berhenti di situ. Di pinggir jalan, emperan sebuah warung yang masih tutup, hampir 30 menit sudah berlalu sejak aku memesan ojol. Belum ada ojek yang menerima pesananku. Lama menanti dengan sedikit panik, akhirnya ada yang nyantol juga. Perjalanan lalu kulanjutkan dengan naik KRL, 2 kali transit dari Kebayoran hingga Bogor, dengan total durasi hingga 2 jam perjalanan.
Setelah melalui banyak drama, sampailah aku di Bogor
Acara dimulai dari Taman Kaulinan, Lapangan Sempur. Rombongan kami berjumlah 20-an orang, terdiri dari pemandu dan peserta. Kami diceritakan tentang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pertama, Van Limburg Stirum, yang dulu sempat menjadi nama jalan di Buitenzorg. Pascakemerdekaan, nama jalan tersebut berganti menjadi nama Pahlawan Nasional Otto Iskandardinata; dan nama jalan satunya menggunakan nama julukan Pak Otto: Si Jalak Harupat.
Tour lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju gerbang Istana Negara, kompleks Denpom, rumah eks asisten residen, dan berakhir di Museum Kepresidenan Balai Kirti. Kecuali tempat terakhir, tempat yang lain dipilih karena bangunannya merupakan bangunan lama peninggalan Belanda. Arsitekturnya masih khas Belanda dengan pintu dan jendela yang tinggi-tinggi dan besar.
Di Museum Balai Kirti, kami dijelaskan tentang sejarah dan kehebatan tiap presiden. Di sana juga terdapat pakaian dan atribut yang kerap digunakan oleh para mantan presiden. Yang paling menarik adalah buku harian asli Pak Habibie, yang ditulis tangan oleh beliau. Museum juga memajang kutipan-kutipan legendaris yang pernah diungkapkan para mantan presiden. Aku paling takjub dengan Kutipan Gus Dur, “Tidak ada kekuasaan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah.”
Terlepas dari tour dan hal-hal yang disampaikan oleh pemandu, yang paling membuatku kaget adalah para peserta yang hadir. Kebanyakan dari mereka adalah anggota komunitas dan sudah saling mengenal satu sama lain. Banyak yang sangat antusias dengan sejarah dan kerap bertemu dalam tour-tour lain di Jakarta dan Bandung. Aku sampai berpikir, niat-niat banget ya orang-orang ini?
Aku juga sempat berkenalan dan bertukar kontak dengan beberapa peserta. Mereka semua adalah orang yang ramah dan senang berbagi pengalaman. Menurutku, ini adalah pengalaman menyenangkan yang belum pernah aku jumpai sebelumnya. Bergabung dalam suatu komunitas baru, asing, dan bahkan hanya sedikit ilmu sejarah yang aku punya. Semoga besok bisa ikut lagi ke acara-acara serupa, belajar hal baru, dan bertemu dengan orang-orang baru.
Sekian tulisan Senin ini. Terima kasih sudah membaca sampai selesai.
Keep in touch, ya!
gpBisma