Beberapa hari ke belakang, jagad maya sedang ramai membahas soal Agus Buntung; seorang difabel yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Melihat narasi yang bermunculan di media sosial, ada satu hal yang menurutku menarik untuk dibahas: stigma masyarakat Indonesia tentang orang difabel. Mirisnya, stigma tersebut justru didobrak oleh Agus Buntung melalui kejahatannya.
Seperti promo diskon 12.12, kasus ini tak sengaja lewat di linimasa X
Sebagai orang yang chronically online (read: HP terooosssssss), aku terpapar dengan kasus ini sejak awal. Pada mulanya, Agus Buntung dilaporkan atas tuduhan melakukan kekerasan seksual. Dirinya kemudian menepis tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa dia adalaha korban yang asli, sementara orang yang melapor adalah pelaku yang ingin mendapat keuntungan.
Saat Agus mengeluarkan pernyataan tersebut, banyak netizen percaya dan mengatakan “Ya kalik orang buntung bisa memerkosa,” dan “tangan aja nggak punya, gimana mau melakukan kekerasan seksual?” Dari sini, bisa terlihat bahwa netizen membela Agus bukan karena tau kronologinya, melainkan karena Agus adalah difabel; kaum yang dinilai lemah dan tidak berdaya.
Nah, itu dia masalahnya. Masyarakat masih menganggap bahwa difabel adalah orang yang perlu dikasihani, orang tertindas, dan orang “tuna” yang tidak mampu beraktivitas. Padahal sebaliknya, teman difabel sangat mampu melakukan aktivitas seperti kita biasanya. Bahkan, teman difabel bisa melakukan lebih daripada kita yang menganggap diri “normal” ini.
Aku pernah beberapa kali bersinggungan dan mengobrol dengan teman difabel…
Lebih tepatnya dengan teman tuli. Beberapa kali aku datang ke cafe tuli dan memesan kopi, di kesempatan lain aku juga pernah belajar bahasa isyarat dengan teman tuli. Satu kesamaan dari tiap kesempatan itu adalah betapa ekspresifnya mereka ketika berkomunikasi. Berkomunikasi dengan bahasa isyarat itu sangat menyenangkan karena teman tuli sangat ekspresif dalam berkomunikasi. Kadang aku juga mengamati teman-teman tuli yang saling berisyarat. Diam-diam aku ikut tersenyum kecil saat melihat mereka tertawa riang.
Kalau ngomongin soal public figure, di era medsos ini sudah banyak teman difabel yang menjadi influencer dan menunjukkan kehebatan skill mereka. Yang mungkin kamu tahu adalah Muhammad Arifin yang punya channel Youtube Disabilitas Punya Cara. Beliau sangat jago soal pertukangan dan perkulian. Kemudian ada Dinoocaw, difabel netra yang jago banget main skateboard. Mereka bukan sosok yang lemah dan tidak berdaya. Keduanya jago dan berdaya dengan caranya sendiri.
Bergeser ke karya sastra, sudah banyak tokoh fiksi yang menjadi representasi dari difabel yang berdaya. Taruhlah tokoh-tokoh seperti Matt Murdock (Daredevil), Professor X (X-Men), Fujitora (One Piece) hingga villain seperti Elijah Price (Unbreakable).
Tapi bagiku, difabel paling keren dalam karya fiksi adalah Toph Beifong di serial Avatar: The Legend of Aang. Bisa-bisanya tokoh pengendali bumi terkuat bukanlah seorang pria berotot yang sangar; melainkan seorang anak perempuan difabel netra. Ia digambarkan bisa “melihat” dengan kepekaan menangkap sensor getaran di bumi. Sama seperti tokoh lain, Toph juga “melihat” segala hal, dengan caranya sendiri.
Kembali lagi ke Agus…
Setelah diusut lebih jauh, kini Agus telah terbukti sebagai tersangka. Dari pengakuannya sendiri dan dari laporan korban, cara Agus melakukan kejahatan pun sudah bisa diketahui masyarakat luas. Semakin lama, semakin banyak pula video-video rekaman aktivitas sehari-hari Agus Buntung yang tersebar di medsos. Ada video Agus menari, minum dari gelas, mengendarai motor, dan lain-lain.
Memang, video-video tersebut menjadi bahan olok-olok netizen. Namun yang aku lihat, video tersebut secara tidak langsung juga membuka mata masyarakat bahwa difabel adalah kaum yang berdaya dengan cara yang berbeda. Difabel adalah manusia biasa seperti kita. Difabel punya caranya sendiri dalam beraktivitas, dalam berolahraga, dalam mengejar cita-cita. Bahkan lebih dari itu semua: difabel punya caranya sendiri dalam melakukan kejahatan.
Meski salah bahkan kriminal, Agus Buntung telah mendobrak stigma difabel di masyarakat. Ia menunjukkan bahwa difabel adalah manusia biasa, sama seperti kita. Pun sama seperti manusia lain, difabel sudah seharusnya diberi posisi yang sama (kesempatan belajar, kesempatan bekerja), hak yang sama (gaji, beasiswa, fasilitas umum), dan kedudukan yang sama di mata hukum.
Sebenarnya, aku udah pengen nulis ini sejak Senin lalu, tapi momen untuk menulis tentang Walking Tour Kebangsaan terlalu sayang untuk dilewatkan.
Sekian tulisan Senin hari ini. Semoga bisa memberi perspektif baru dari kasus terkini yang sedang viral. Keep in touch!
gpBisma